Senin, 30 Mei 2011

Apakah Tuhan Menonton Pertandingan Sepak Bola?

Kalau pertanyaan ini Anda tanyakan kepada pelatih Timnas Italia di Piala Dunia 2002, Giovanni Trappatoni, maka ia akan menjawab mantab: tentu saja!

Catatan: SYAIFULLAH

Menarik benar membedah pernyataannya itu. Ketika diwawancarai Reuters atas keberhasilannya membawa Timnas Italia lolos ke babak 16 besar, Trappatoni menjawab dengan unik. Tak seperti pelatih kebanyakan yang kerap menjawab pertanyaan wartawan dengan apologi sebab akibat dan sangat taktis sekali bagaikan sebuah rumus resmi, Trappatoni saat itu menjawab bahwa Tuhan pasti menonton setiap pertandingan sepak bola. Termasuk ketika timnya mampu lolos dari lubang jarum ke babak 16 besar Piala Dunia 2002. Saat itu Italia yang tergabung dalam Grup G memang hanya butuh hasil imbang karena di saat bersamaan pesaing utama Kroasia kalah dari Ekuador.
Meski sempat tertinggal lebih dulu lewat gol striker Meksiko, Jared Borgetti di menit 34, Italia mampu membalas lewat gol Alessandro Del Piero di menit 85. Hasil ini sangat disyukurinya. Maka ia tak lupa memuji Tuhannya. “Saya melafalkan doa saya yang biasa. Keadilan dan Tuhan itu ada. Saya percaya Tuhan menonton pertandingan dan Ia akan melakukan keadilan. Kami memiliki lima atau enam peluang bagus dan salah satunya pasti berhasil berdasar keadilan itu,” beber Trappatoni kepada media usai laga.
Sebagai umat beragama, tentu saja saya yakin Tuhan maha melihat. Ia melihat apa saja di atas bumi ini, termasuk menonton pertandingan sepak bola pastinya. Namun apakah Tuhan akan bersikap netral? Atau apakah Tuhan akan memenangkan satu tim yang didukungnya?
Pertanyaan itu tak layak diperdebatkan dan direnungkan. Karena jawabannya akan menuju ke hal-hal mistis di luar akal sehat manusia. Tuhan menciptakan takdir. Tapi bukan takdir itu yang hendak dibahas di sini. Yang akan dibahas adalah keterpautan antara sepak bola dan unsur misteri itu sendiri. Unsur mistis yang dikait-kaitkan Trappatoni dalam pesta sepak bola terbesar di bumi itu.
Membawa-bawa Tuhan ke arena sepak bola tampaknya kurang etis. Karena Tuhan dibutuhkan di setiap arena kehidupan. Maka itu, keterlibatan Tuhan akan menjadi sesuatu yang gaib bin mistis. Seperti sepak bola itu sendiri: penuh misteri-seperti yang kerap diutarakan pelatih kampung: Suimin Diharja.
Bicara misteri dalam sepak bola, saya sebenarnya tak ingin terlena dan percaya. Tapi media sekelas Reuters kadang terperangkap dalam ulasan-ulasan seperti itu. Reuters kerap mencari-cari sisi unik dari pergelaran sepak bola. Tujuan utama mereka merangkai hal-hal mistis acap kali berakhir di Benua Hitam Afrika. Saban digelar Piala Afrika, Reuters akan mengirim reporter terbaiknya untuk mencari-cari unsur mistis di ajang itu.
Dan Reuters memang berhasil melaporkan hal-hal ganjil yang kerap membuat bibir ini menyungging senyum. Salah satu yang ditemukan Reuters adalah kebiasaan vodoo para dukun pembela tiap negara yang bertarung. Laporan Reuters menyebutkan praktik spiritual bersifat mistis seperti mengorbankan binatang dan mengubur beberapa bagiannya di Gurun Sahara. Banyak bubuk dan cairan aneh berbau melingkari bagian tertentu di gurun itu.
Namun Konfederasi Sepak Bola Afrika melarang para tukang sihir itu masuk stadion saat berlangsung kompetisi tertinggi di benua itu. Bahkan di ajang Piala Dunia perdukunan dan unsur mistis kerap terjadi meski dalam skala minor. Trappatoni termasuk satu yang percaya hal-hal demikian. Buktinya di Piala Dunia 2002, Trappatoni kerap melakoni ritual menciprat-cipratkan air ke bangku pemain cadangan dengan tujuan yang sulit dijelaskan. Wah.
Itu semua sekelumit kisah di pentas sepak bola dunia. Apakah di negeri sendiri hal itu ada? Jawabannya tampaknya sama.
Baru-baru ini saya mendengar kalau PSMS Medan mengalami hal sama. Saat ditahan imbang 3-3 oleh Persiba Bantul yang sekaligus menggugurkan keinginan PSMS main di ISL musim depan itu, ada pengakuan unik bahwa para pemain seperti kena gendam. Unsur mistis mulai menggeliat sehari sebelum pertandingan itu. Salah satu yang kena adalah bek PSMS, Rahmat. Menurut pengakuan Asisten Manajer, Benny Tomosoa, Rahmat tidak bisa menggerakkan badannya dan tak bisa tidur sehari sebelum pertandingan. Menurut Benny, Rahmat kerap diikuti makhluk tak berwujud dan kondisi itu mengganggu kondisi psikis dan fisiknya. Alhasil, Rahmat tak turun di partai penentuan itu.
Tapi dugaan mistis itu sempat sirna ketika akhirnya PSMS berhasil unggul 3-0 di babak pertama. Semua lena dan yakin benar bahwa ISL sudah di depan mata. Tapi apa cerita? ternyata di babak kedua unsur mistis datang lagi.
Dibilang Benny pemain semua mengaku kalau di babak kedua itu mereka seperti tertekan benar dan sulit berkonsentrasi. Bahkan ada yang mengaku mereka seperti sulit sekali menggerakkan tubuhnya. “Saya tak pernah percaya yang begini. Tapi kami mengalaminya. Tidak akan ada yang percaya seperti saya juga tak akan percaya dengan kondisi mistis seperti ini. Tapi bagi yang mengalami barulah mereka percaya bahwa unsur mistis itu sendiri sebenarnya ada dalam sepak bola,” kata Benny tak bermaksud cuci tangan atas kegagalan PSMS ke ISL musim depan.

Pengurus dan Manajemen Gagal

PSMS akan memasuki musim ketiga di Divisi Utama yang merupakan kompetisi kasta kedua Liga Indonesia. Artinya PSMS terus didera kegagalan melangkah ke Indonesian Super League (ISL) yang merupakan kasta tertinggi sepak bola nasional.
Siapakah yang gagal? Pertanyaan klasik yang jawabannya mudah ditebak, utamanya bagi para fans setia PSMS. Rata-rata menjawab pasti: pengurus dan manajemen gagal total.
PSMS Medan Fans Club (PFC) salah satunya. Barisan kelompok pecinta PSMS yang memiliki jumlah anggota terbesar ini (1950), berharap ada revolusi besar di kepengurusan PSMS musim depan.
“Siapa lagi yang patut disalahkan? Tentu saja pengurus dan manajemen. Kalau memang tidak bisa mengurus lagi, harusnya sadar diri dan mundur. Beri kesempatan kepada orang lain yang memang bisa mengurus tim dengan baik,” koar Tony Nainggolan Ketua PFC kemarin.
Bukti kegagalan sudah terlihat jelas. Tiga musim main di kasta kedua kompetisi tentu saja jadi alasan utama yang tak terbantahkan. Kalau ingin melihat kegagalan lain, PFC juga punya jawaban. Salah satunya adalah tak berkembangnya markas PSMS: Stadion Teladan.
“Lihatlah ada waktu dua tahun untuk membenahi Stadion Teladan karena PSMS sedang tidak bermain di ISL. Kalaupun musim depan lolos ISL, tetap saja tak bisa main di hadapan pendukung sendiri karena kondisi Stadion Teladan sangat memprihatinkan. Harusnya ada desakan dari pengurus PSMS agar Stadion Teladan direnovasi,” tambah Tony.
Dosa lain adalah tak adanya sponsor yang bisa digandeng pengurus. Kalau orientasi pengurus masih menyusu APBD, maka tempatnya tak lagi cocok di PSMS. Ini karena musim depan seluruh klub di Indonesia haram pakai APBD.

Kamis, 26 Mei 2011

FlashBack Final Sepakbola Persib vs PSMS 1985

Kalau Anda mencintai PSMS Medan, mestinya saat ini Anda layak menangis. Tim yang pernah menyandang nama besar di kancah sepakbola nasional, kini telah mengerucut menjadi tim yang lunglai dan sekarat.

Seberapa gemuruh Anda melihat Stadion Gelora Bung Karno saat Timnas Indonesia bertanding di Piala AFF Suzuki 2010 lalu? Merah di setiap sudut, hiruk pikuk terompet dan petasan bergemuruh nyaris dari seluruh sisi stadion. Statistik mencatat, sekitar 80 ribu penonton memenuhi stadion dalam setiap laga Timnas Indonesia.
Tak ayal, kehadiran puluhan ribu penonton itu seakan membangkitkan kembali euphoria publik terhadap sepakbola nasional. Semua pihak seakan baru menyadari bahwa sepakbola telah menjelma menjadi suatu kekuatan baru pemersatu, sekaligus manifestasi dari harkat dan martabat suatu bangsa.
Namun, sadarkah Anda bahwa fenomena yang ditunjukkan Timnas Indonesia sebulan lalu itu, sesungguhnya telah dikalahkan oleh dua tim ‘lokal’, yakni PSMS Medan dan Persib Bandung, 25 tahun lalu? Jika Timnas Indonesia bertanding mewakili seluruh bangsa, PSMS dan Persib hanya mewakili dua daerah di nusantara, tapi telah mengalahkan gaung yang baru ditunjukkan Timnas Indonesia sekarang.
Ya, Final Kompetisi Divisi Utama Perserikatan tahun 1985 yang mempertemukan PSMS Medan versus Persib Bandung tercatat sebagai pertandingan sepakbola paling fenomenal dalam kancah sepakbola Indonesia. Ada dua indikasi yang memperkuat itu.
Pertama, menurut buku Asian Football Confederation (AFC) terbitan 1987, pertandingan itu ditonton oleh sekitar 150.000 orang. Bobotoh Persib dan suporter PSMS membuat Senayan banjir manusia. Spanduk “Kami Medan Bung” berkibar di seluruh penjuru stadion.
Ini merupakan pertandingan terbesar dalam sejarah sepakbola amatir di dunia. Saat itu kompetisi perserikatan masih digolongkan ke dalam liga amatir karena para pemainnya belum diikat kontrak yang jelas.
Kedua, meskipun penontonnya demikian banyak, kedua suporter tak saling bentrok sepanjang dan hingga usai pertandingan. Suporter PSMS Medan yang secara geografis lebih jauh dari Jakarta dibanding Jawa Barat, saat itu dikenal sebagai suporter fanatik yang santun. Bahkan, Mamek Sudiono, salah seorang pilar PSMS Medan saat itu pernah menceritakan betapa merindingnya dia memasuki Senayan ketika puluhan ribu suporter PSMS meneriakkan koor horas berkali-kali.
Dan yang lebih penting lagi, fanatisme luar biasa yang ditunjukkan para suporter PSMS  itu dibayar tunai oleh Ponirin Meka dkk. Mereka sukses memboyong Piala Presiden ke Medan setelah menang melalui drama adu penalti 2-1, menyusul hasil imbang 2-2 pada waktu normal.
Semakin fenomenal, karena itu adalah keberhasilan PSMS beruntun kedua kalinya setelah mengalahkan lawan yang sama dua tahun sebelumnya. Tahun 1983, Ayam Kinantan juga mengalahkan Persib Bandung 3-2 di partai final melalui drama adu penalti setelah keduanya bermain imbang tanpa gol melalui waktu normal dan perpanjangan waktu.
Namun apa boleh buat, itulah catatan terakhir Ayam Kinantan mengepakkan sayapnya dalam puncak sepakbola Indonesia. Selepas itu, sepakbola Sumut (Medan) boleh dikata terlelap dalam tidur panjangnya. Kalaupun sempat menggeliat sebentar, hanya saat tim sepakbola Sumut meraih medali emas di PON tahun 1993.
Jika itu dimasukkan sebagai bagian dari catatan keberhasilan sepakbola Medan, berarti bisa disebut bahwa 17 tahun sudah publik sepakbola Medan puasa prestasi. Pelan-pelan, nama PSMS Medan semakin tenggelam dalam riuh rendah pembicaraan publik sepakbola nasional. Tak salah, karena kini PSMS satu kasta dengan tim ‘antah berantah’ selevel Persires Rengat dan Persih Tembilahan. Tanpa bermaksud meremehkan, PSMS sekarang hanya bertanding melawan tim-tim kemarin sore yang tak pernah sekalipun menorehkan nama timnya di papan skor Stadion Senayan sejak stadion itu diresmikan Bung Karno pada 24 Maret 1956. 
Dua tahun belakangan inilah prestasi PSMS benar-benar berada di titik nadir dalam sejarah sepakbola nasional. Dua musim berlaga di kasta kelas dua liga sepakbola Indonesia, tentu merupakan catatan memalukan bagi tim bernama besar sebesar PSMS.
Tragisnya, di tengah jalan menukik yang semakin meluncurkan PSMS ke titik nadir itu, terjadi pula dekadensi militansi para pendukungnya. Kini, sulit rasanya berharap militansi puluhan ribu perantau asal Sumut akan membanjiri Stadion GBK saat PSMS bertanding, seperti yang mereka tunjukkan di tahun 1980-an. Jika pun ada, harus pahit mengatakannya, bahwa faktor mobilisasi berbau untung rugi yang lebih memegang peranan.
Apa yang terjadi dengan pembinaan sepakbola di Sumut pada umumnya, dan Medan pada khususnya? Kemana militansi suporter yang dulunya sangat ditakuti oleh suporter dari tim manapun itu?
Harus diakui, pembinaan sepakbola di daerah ini memang nyaris tidak berbentuk. Indikasinya cukup sederhana, kompetisi klub binaan PSMS sudah beberapa tahun ini tak pernah bergulir lagi. Padahal, seorang pemain bertalenta hanya bisa terpantau dan terasah dari sebuah kompetisi yang rutin dan berkesinambungan.
Bagaimana mungkin manajemen PSMS bisa mengetahui bahwa ada anak Medan yang lihai dan ngotot berjibaku di lapangan hijau, kalau mereka sendiri tak pernah ditampilkan dalam rentetan laga berlabel kompetisi?
Tak ayal, 40 klub di bawah naungan PSMS kini hanya main bola ‘ecek-ecek’ karena mereka tidak difasilitasi untuk menunjukkan kemampuannya dalam suatu ajang kompetisi. Bahkan, sebagian di antaranya telah benar-benar mati suri, walau masih ada pengurusnya yang mengatasnamakan tim itu ketika rapat-rapat tentang PSMS digelar secara sporadis.
Tahun lalu, polemik ini sempat mengemuka, dan sebagian jajaran pengurus PSMS di bawah kendali Wakil Wali Kota Medan Dzulmi Eldin sempat berkoar di media bahwa kompetisi PSMS akan digelar lagi. Namun, janji itu hanya tinggal janji. Hingga tulisan ini dibuat, kompetisi 40 klub tersebut yang sejatinya dibagi dalam beberapa divisi tak pernah terselenggara.
Karena itu, tidak bisa tidak, jika PSMS ingin kembali bangkit dari tidur panjangnya, kompetisi antarklub di bawah naungan PSMS itu harus diaktifkan kembali. Manajemen PSMS tak bisa begitu saja menyerahkan urusan tersebut kepada Pengda PSSI. Sebab, toh pada akhirnya, PSMS lah yang akan menuai keuntungan dari kompetisi itu berupa penemuan bakat-bakat pemain yang kelak bisa memperkuat Ayam Kinantan.
Banyak keuntungan sebenarnya yang bisa didapat manajemen dari bergulirnya kompetisi itu. Satu yang terpenting adalah meminimalisasi cost pembayaran kontrak pemain yang saat ini memang sudah di luar nalar. Sebagai pemain yang lahir dan terasah dari sebuah kompetisi intern, tentu akan lebih ekonomis ketimbang merekrut pemain jadi.
Tidak itu saja. Militansi pemain yang memang berasal dari Medan atau Sumut pada umumnya tentu akan jauh lebih kuat ketimbang pemain yang tiba-tiba memperkuat PSMS hanya karena hitungan fulus bertopengkan profesionalitas.
Betul, sepakbola hari ini memang telah mengarah kepada profesionalisme yang cenderung kapitalis, tapi militansi dan fanatisme kedaerahan adalah suatu hal yang tak bisa dinilai dengan uang. Sentuh mereka dari sisi itu, dan saya percaya masih banyak bibit pesepakbola Medan yang memilikinya. Hanya saja belum tersentuh karena manajemen sendiri tak pernah berupaya menyentuhnya.
Bagaimana soal dana? Rasanya teramat miris jika manajemen senantiasa melantunkan lagu lama itu untuk tidak menggelar laju kompetisi. Harus dipahami, aturan APBD yang tidak dibenarkan untuk tim sepakbola, tidaklah berlaku jika digunakan untuk menggelar suatu pembinaan sepakbola.
Masalahnya, ketika manajemen masih tetap menggunakan APBD dengan beragam pembenarannya, tapi mereka seakan menutup mata bahwa APBD itu selayaknya digunakan untuk membina bibit-bibit pemain muda. Ambivalensi yang sempurna telah ditunjukkan para pengurus PSMS sejak beberapa tahun lalu hingga kepengurusan yang sekarang.
Miliaran rupiah dana APBD tetap mereka ambil dengan mengatasnamakan PSMS sebagai tim milik masyarakat Medan, tapi mereka seakan menutup mata ketika talenta ribuan pesepakbola Medan mati sebelum lahir.
Ya, mati sebelum lahir, karena manajemen tak memberi mereka ruang untuk tumbuh dan berkembang. Hanya keajaiban berbau mukjizat jika pun ada satu dua bakat pesepakbola Medan itu yang terendus.
Lantas, jika sudah begini, masih layakkah militansi itu muncul dari publik Medan? Mungkinkah orang yang tak pernah merasa dilibatkan akan mempunyai rasa memiliki? Mungkinkah orang yang telah dibunuh talentanya akan merasa penting untuk membela panji-panji kebesaran Ayam Kinantan dengan semangat ala rap-rap yang sempat mencengangkan mata publik sepakbola nasional puluhan tahun yang lalu?

Sabtu, 19 Maret 2011

Stadion Teladan Bisa Seperti Wembley


Stadion Teladan merupakan salah satu aset terpenting dalam pengembangan dan kemajuan industri sepakbola di Medan. Peran sebuah stadion bisa memberikan dampak positif bagi semua elemen masyarakat, khususnya para pecinta dan penggila sepakbola.

Demikian dikatakan Vice President Liga Primer Indonesia (LPI) Regional Sumatera-Aceh, Avian Tumengkol, Selasa (15/3). Kepada Waspada, Avian mengatakan harapannya Pemko Medan dapat mengambil bagian penting untuk memaksimalkan keberadaan stadion kebanggaan PSMS itu.

"Stadion Teladan punya potensi yang luar biasa untuk menjadi persepakbolaan daerah kita di Medan menuju industrialisasi sepakbola. Kontribusi dan industri sepakbola ini bisa menguntungkan semua elemen masyarakat," jelas Avian.
Avian mencontohkan, jika Stadion Teladan dikelola secara profesional dan memberdayakan potensi bisnisnya, hasilnya akan dinikmati oleh masyarakat. Avian menambahkan sudah saatnya Pemko Medan membuktikan keseriusannya memajukan sepakbola di Medan dengan merenovasi stadionnya sehingga bisa menguntungkan para pemangku kepentingan industri sepakbola di daerah.

"Kalau stadion kita bisa memenuhi standar internasional dan semua penonton bisa merasakan kenyamanan dan keamanan, yang untung kan semua masyarakat di Medan. Tidak menutup kemungkinan Teladan bisa jadi semacam Stadion Wembley di Indonesia," terangnya.

Karena itu, diimbau semua elemen turut ambil bagian. Selain pemerintah, para suporter juga harus berperan secara positif untuk memelihara stadionnya hingga petugas kebersihan dan panitia pelaksaan pertandingan harus profesional.

"Dan semua layanan kepada penonton juga profesional. Tentu para pemain akan tampil dengan permainan cantik di hadapan suporternya dan perusahaan swasta dengan sendirinya invenstasi untuk memajukan industrialisasi sepakbola bersama," tegas Avian menambahkan Konsorsium LPI siap membantu dalam hal investasi untuk mendukung pemerintah daerah.

“Kami justru menawarkan kepada pihak Pemko (Medan) untuk memberikan pendanaan renovasi stadion. Investasi ini bertujuan untuk kepentingan bersama, maka saya berharap Walikota berkenan memberikan izin untuk langkah perbaikan ini,” harap Avian.

Menanggapi itu, Walikota Medan Rahudman Harahap menyatakan komitmennya turut mendorong perubahan dan kemajuan dalam rangka mereformasi persepakbolaan daerah di Sumut, khususnya di Medan.
"Ya, saya mendukung semua upaya kemajuan sepakbola kita karena sepakbola ini dapat mempersatukan kita semua menjadi satu keluarga besar. Kondisi Teladan memang sudah menjadi perhatian saya dan demi kenyamanan masyarakat di stadion, Pemko (Medan) akan lakukan renovasi dalam waktu dekat," ungkap Rahudman yang juga pemerhati sepakbola.

Kamis, 17 Maret 2011

Musim ini saatnya bagi PSMS?

MEDAN - Sejak terdegradasi dari Liga Super Indonesia dua musim lalu, PSMS Medan belum juga menemukan cara agar kembali berkompetisi di kasta teratas pesepakbolaan tanah air itu. Gonta ganti pelatih dan sejumlah pemain beken didatangkan namun belum juga berhasil mengangkat prestasi tim. Bahkan Ayam Kinantan hampir terdegradasi musim lalu.
      
Kondisi juga berlanjut di awal musim Divisi Utama 2010/2011 ini. Mengawali start dengan dua kemenangan kandang atas Persitara dan Persikabo, PSMS kembali terpuruk dengan tiga kekalahan beruntun dari tur Acehnya. Kegagalan yang berujung pemecatan terhadap Zulkarnain Pasaribu dan asisten-asistennya.
      
Tim tak lebih baik saat pelatih kenyang pengalaman seperti Rudy Keltjes dihadirkan. Menjalani satu laga yang berujung kekalahan kandang atas Persih, Rudy memilih mundur. Pupuskah mimpi ke ISL?
      
Ternyata tidak. Suharto dan Asistennya Edy Syahputra yang sebelumnya membesut Bintang Medan dihadirkan untuk membenahi tim. Aroma ketidakyakinan pun muncul mengingat Suharto belum punya pengalaman membesut tim untuk kompetisi profesional seperti Divisi Utama.
      
Namun kenyataan berkata lain. PSMS bangkit dan Suharto cs menjawab keraguan dengan sederetan kemenangan. Mulai dari kemenangan atas Persires Rengat (3-0), Pro Titan FC (2-0) yang dilanjutkan dengan menahan imbang PSLS Lhokseumawe dan PSSB Bireuen di laga away menempatkan PSMS di posisi empat klasemen pada akhir putaran pertama.
       
Meski sempat takluk dari Persipasi Bekasi 2-3, PSMS pulang dengan kepala tegak karena menyajikan perlawanan berkualitas. Persita Tangerang pun ditahan imbang 1-1 di kandangnya. Kepercayaan diri berlanjut di Teladan dengan melibas PSSB (3-0), PSLS (1-0) dan terakhir Pro Titan (2-1). Mempertahankan posisi di papan atas, semua pihak pun percaya ini bakal menjadi tahunnya PSMS.
  
Asisten Manajer PSMS, Benny Tomasoa meyakini hal itu. Menurutnya ini merupakan musim dimana PSMS patut mendapatkan tiket kembali ke ISL. Tempat seharusnya Ayam Kinantan berada dan bertarung bersama seteru-seterunya Persija, Persib dan lainnya.
   
"Saya pikir ini tahunnya PSMS. Dan hasil positif yang kita raih belakangan ini tetap menjaga peluang kita untuk mencapai ISL. Semua pihak bekerja keras untuk ini baik tim maupun suporter yang selalu mendukung kita," ujar Benny.
      
Namun perjalanan PSMS masih panjang. Dua laga away ke depan Persih dan Persires akan menjadi penjegal langkah PSMS. Selanjutnya, Persiraja, PSAP dan PS Bengkulu yang harus dilewati sebelum akhirnya menutup musim berhadapan dengan Persikabo dan Persitara.
      
"Kita harap terus meraih hasil positif ke depan. Meskipun kita tahu jalan selanjutnya tidak akan mudah," lanjut Benny.

Minggu, 16 Januari 2011

Save Our Kinantan

MEDAN - Kemenangan yang diraih oleh Ayam Kinantan dalam dua laga terakhir yang dua-duanya dimainkan di kandang boleh saja melegakan sebagian pihak. Bahkan mungkin sebagian pengurus mulai mengklaim ini adalah keberhasilan dari “strategi” gonta-ganti pelatih yang dilakukan dalam 8 laga terakhir.

Namun kita harus ingat, PSMS juga menang di 2 laga kandang di awal musim, namun 'keok' di 3 laga tandang selanjutnya yang berbuah “pemecatan’ pelatih bang Zul ke Rudi William Keltjes yang hanya berumur 1 laga yang berakhir dengan kekalahan kandang versus Persih. Selanjutnya, Keltjes digantikan oleh Suharto hingga saat ini.

Dari fakta ini, terlihat bahwa sebenarnya kondisi saat ini tidak lebih baik dibandingkan dengan kondisi awal musim. Strategi gonta-ganti pelatih yang dilakukan oleh pengurus bukanlah hal mendasar menuju perbaikan di tubuh PSMS, bahkan saya diyakini bahwa pengurus juga tahu akan hal ini. Kuat dugaan gonta-ganti pelatih ini adalah untuk mengalihkan perhatian dari hal-hal lain yang lebih dibutuhkan oleh PSMS.

Memasuki musim kedua sejak degradasi ke kasta kedua sepakbola Indonesia, belum terlihat upaya serius dari pengurus untuk mengembalikan PSMS ke tempat yang selayaknya di Liga Super. Tren sepakbola ke arah profesionalisme tidak terasa gaungnya di tubuh PSMS, sponsor yang digadang-gadang dari awal namun realisasinya sampai saat ini tidak ada bahkan untuk sponsor jersey sekalipun.

Praktis saat ini pengurus hanya mengandalkan kucuran dana dari APBD. Kondisi lapangan Stadion Kebun Bunga sebagai tempat latihan juga sangat jauh dari memadai.

Apakah PSMS bisa maju dengan keadaan sekarang? Tidak.
Apakah memang nama PSMS tidak menarik lagi bagi sponsor? Tidak dengan kepengurusan sekarang.
Apakah pengurus sekarang serius mengupayakan PSMS promosi ke Liga Super? Tetap tidak.

Mengapa? Jawabannya silahkan dikaitkan dengan logika sederhana dibawah ini.
Seandainya PSMS promosi ke Liga Super, apa yang terjadi? PSMS akan jadi tim musafir karena Teladan belum lolos verifikasi. Mengingat dalam derby Medan kemarin, PSMS vs Pro Titan, pertandingan sempat dihentikan karena lapangan banjir, dan untuk bersaing di Liga Super, PSMS harus mendatangkan pemain kelas atas.

Kedua hal diatas akan membutuhkan dana yang jauh lebih besar dibandingkan dengan di Divisi Utama. Jatah dana dari APBD akan terkuras untuk operasional.

Sebenarnya pihak Liga Primer pernah menawarkan ke pengurus PSMS untuk ikut LPI dengan suntikan dana jauh lebih besar dan juga renovasi Stadion Teladan, tapi dana harus dikelola secara profesional. Namun pengurus lebih memilih strategi bermuka dua dengan menelurkan Bintang Medan FC yang sebelumnya akan memakai nama Bintang PSMS.

Terlihat dengan kasat mata, mereka tidak ingin kehilangan APBD tetapi juga sekaligus bisa menikmati LPI. Untung saja pihak LPI tidak mengakomodir adanya rangkap jabatan antara pengurus Bintang Medan dan PSMS. Tapi seiring bergulirnya LPI, bukan tidak mungkin ada pengurus PSMS yang coba loncat ke Bintang Medan FC.

Bagi saya pribadi, pengurus PSMS lah yang perlu diperbaiki saat ini, bisa diganti atau yang kedua mengubah paradigma pengurus. Tapi pilihan kedua ini sesuatu hal yang sangat sangat sulit dilakukan. Revolusi kepengurusan PSMS jauh lebih penting dari sekedar gonta-ganti pelatih.

Save Our Kinantan ini dibutuhkan kekuatan untuk mendorong terjadinya revolusi di tubuh pengurus PSMS saat ini. Kekuatan media lokal yang masih menginginkan kejayaan PSMS plus tekanan dari barisan suporter PSMS adalah kekuatan dahsyat apabila disatukan.

Bersatulah PSMS Fans Club, Ultras1950, Smeck Hooligan, Kampak, Persetan dan seluruh pecinta PSMS Medan. Tidak perlu satu bendera, tapi satu paradigma, persepsi dan satu tujuan yaitu mengembalikan kejayaan Ayam Kinantan.